Orang yang Mampu tapi Tidak Berkurban di Hari Raya Idul Adha, Ini Penjelasan Para Ulama

8 Juli 2022, 01:00 WIB
Ilustrasi hewan kurban /Dokumen Kabar Banten/Azzam Miftah

KARAWANGPOST - Setiap Hari Raya Idul Adha, umat Islam dianjurkan untuk berkurban. Anjuran berkurban tentu hanya untuk orang yang mampu secara finansial.

Namun kenyataannya, tidak semua orang yang mampu melaksanakan kurban di Hari Raya Idul Adha. Tentu dengan berbagai alasan.

Lalu Bagaimana pandangan fiqih Islam perihal orang mampu secara finansial namun tidak melaksanakan kurban?

Baca Juga: Puasa Dzulhijjah, Ini Niat dan Keutamaannya

Hukum memang dalam diperselisihkan para ulama. Namun menurut pendapat mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah hukumnya sunah. Artinya sesuatu yang apabila dilakukan mendapat pahala, bila ditinggalkan tidak berdosa.

Di antara argumen mayoritas ulama adalah hadits Ibnu Abbas, beliau mendengar Nabi bersabda:

ثَلَاثٌ هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضُ وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ اَلْوِتْرُ وَالنَّحَرُ وَصَلَاةُ الضُّحَى

“Tiga hal yang wajib bagiku, sunah bagi kalian yaitu shalat witir, kurban, dan shalat Dhuha” (HR Ahmad dan al-Hakim).

Baca Juga: Menjelang Idul Adha, Ini Panduan Salat Id dan Pelaksanaan Kurban dari Kemenag

Dalam riwayat Imam al-Tirmidzi disebutkan sabda Nabi:

أُمِرْتُ بِالنَّحَرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ

“Aku diperintahkan berkurban, dan hal tersebut sunah bagi kalian” (HR al-Tirmidzi).

Dalam haditsnya Ummu Salamah disebutkan bahwa Nabi bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِيْ الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعَرِهِ وَأظْفَارِهِ

“Bila kalian melihat hilal Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian menghendaki berkurban, maka tahanlah rambut dan kukunya (untuk tidak dipotong)” (HR. Muslim dan lainnya).

Baca Juga: Bacaan Niat Salat Idul Adha

Dalam hadits tersebut terdapat pesan bahwa pelaksanaan kurban tergantung pada kehendak seseorang, yang memberi petunjuk dinafikannya kewajiban berkurban.

Syekh Wahbah al-Zuhaili berkata: “Dalam haditsnya Ummu Salamah terdapat penggantungan kurban dengan kehendak, sedangkan menggantungkan ibadah dengan kehendak meniadakan hukum wajib”.

Sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa kurban hukumnya wajib bagi setiap orang mukim yang mampu kecuali orang yang sedang melaksanakan haji di Mina. Maksud mampu di sini ialah orang yang memiliki harta lebih senilai nishabnya zakat mal, yaitu 200 Dirham, yang melebihi kebutuhan pokok dirinya dan pihak yang wajib ditanggung nafkahnya.

Baca Juga: Pencipta Yu-Gi-Oh Kazuki Takahashi Ditemukan Meninggal dalam Kecelakaan Snorkeling

Syekh al-Imam al-Nawawi berkata: “Dan berkata Rabi’ah, al-Laits bin Sa’ad, Abu Hanifah dan al-Auza’i, berkurban adalah wajib atas orang yang kaya kecuali jamaah haji di Mina”. Berkata Muhammad bin al-Hasan bahwa kurban adalah wajib atas orang yang bermukim di kota-kota, yang masyhur dari Abu Hanifah bahwa beliau hanya mewajibkan kurban bagi orang mukim yang memiliki satu nishab (200 dirham).”

Di antara argumen Abu Hanifah adalah haditsnya Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda:

مَنْ وَجَدَ سَعَةً لِأَنْ يُضَحِّيَ فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَحْضُرْ مُصَلَّانَا

“Barang siapa mampu berkurban dan ia tidak melaksanakannya, maka janganlah ia menghadiri tempat shalat kami”. (HR. al-Baihaqi).

Baca Juga: Amalan Doa saat Terbangun Tengah Malam Ajaran Rasulullah

Para ahli hadits menyebutkan bahwa hadits-hadits yang dijadikan hujjah mazhab Hanafiyyah adalah lemah, atau diarahkan kepada pengukuhan anjuran berkurban.

Syekh Wahbah al-Zuhaili mengatakan: “Para pakar hadits melemahkan hadits-haditsnya Hanafiyyah, atau diarahkan kepada pengukuhan atas kesunahan berkurban seperti masalah mandi Jumat dalam hadits Nabi; mandi Jumat wajib atas setiap orang baligh. Kesimpulan ini ditunjukkan oleh sebuah atsar bahwa Abu Bakar dan Umar tidak berkurban karena khawatir manusia meyakininya sebagai hal yang wajib, sementara hukum adalah tidak adanya kewajiban”.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hukum meninggalkan kurban bagi orang yang mampu diperselisihkan oleh para ulama. Menurut mazhab Hanafiyah hukumnya haram (berdosa) sebab berkurban adalah wajib. Sedangkan menurut mayoritas ulama tidak berkonsekuensi dosa, karena berkurban hukumnya sunah (tidak wajib).

Baca Juga: Piala Presiden 2022: Arema FC Unggul di Leg Pertama Semifinal, PSIS Siap Balikkan Keadaan di Leg Kedua

Berpijak dari pendapat mayoritas, meski berkurban hukumnya sunah, namun meninggalkannya bagi orang yang mampu adalah makruh, sebab terjadi ikhtilaf dalam status wajibnya. Atas hal itu, ulama menegaskan bahwa berkurban lebih utama daripada sedekah sunah biasa.

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan: “Dan makruh meninggalkan kurban karena ikhtilaf ulama dalam kewajibannya, karena itu kurban lebih utama dari sedekah sunah.”

Syekh Abdul Hamid al-Syarwani memberi komentar atas referensi di atas sebagai berikut: “Ucapan Syekh Ibnu Hajar; karena itu kurban lebih utama dari sedekah sunah; apakah yang dimaksud bahwa hanya daging kurban yang disedekahkan dari kurban lebih utama dari sedekah sunah (sebuah kejanggalan)?, dari Syekh Ibnu Qasim al-‘Ubbadi. Aku berkata, pendapat yang jelas bahwa yang dikehendaki adalah seluruh daging kurban (baik yang disedekahkan atau yang dikonsumsi pribadi), dan karunia Allah luas”.***

Editor: Ali Hasan

Sumber: NU

Tags

Terkini

Terpopuler