Baca Juga: Pencipta Yu-Gi-Oh Kazuki Takahashi Ditemukan Meninggal dalam Kecelakaan Snorkeling
Syekh al-Imam al-Nawawi berkata: “Dan berkata Rabi’ah, al-Laits bin Sa’ad, Abu Hanifah dan al-Auza’i, berkurban adalah wajib atas orang yang kaya kecuali jamaah haji di Mina”. Berkata Muhammad bin al-Hasan bahwa kurban adalah wajib atas orang yang bermukim di kota-kota, yang masyhur dari Abu Hanifah bahwa beliau hanya mewajibkan kurban bagi orang mukim yang memiliki satu nishab (200 dirham).”
Di antara argumen Abu Hanifah adalah haditsnya Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً لِأَنْ يُضَحِّيَ فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَحْضُرْ مُصَلَّانَا
“Barang siapa mampu berkurban dan ia tidak melaksanakannya, maka janganlah ia menghadiri tempat shalat kami”. (HR. al-Baihaqi).
Baca Juga: Amalan Doa saat Terbangun Tengah Malam Ajaran Rasulullah
Para ahli hadits menyebutkan bahwa hadits-hadits yang dijadikan hujjah mazhab Hanafiyyah adalah lemah, atau diarahkan kepada pengukuhan anjuran berkurban.
Syekh Wahbah al-Zuhaili mengatakan: “Para pakar hadits melemahkan hadits-haditsnya Hanafiyyah, atau diarahkan kepada pengukuhan atas kesunahan berkurban seperti masalah mandi Jumat dalam hadits Nabi; mandi Jumat wajib atas setiap orang baligh. Kesimpulan ini ditunjukkan oleh sebuah atsar bahwa Abu Bakar dan Umar tidak berkurban karena khawatir manusia meyakininya sebagai hal yang wajib, sementara hukum adalah tidak adanya kewajiban”.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hukum meninggalkan kurban bagi orang yang mampu diperselisihkan oleh para ulama. Menurut mazhab Hanafiyah hukumnya haram (berdosa) sebab berkurban adalah wajib. Sedangkan menurut mayoritas ulama tidak berkonsekuensi dosa, karena berkurban hukumnya sunah (tidak wajib).