Primary Balance Negatif, Kebijakan Gali Lobang Tutup Lobang Hutang Negara

- 19 Februari 2021, 17:02 WIB
Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati
Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati /dok.foto/DPR RI/

KARAWANGPOST - Data Kementerian Keuangan mencatat, utang pemerintah hingga akhir Desember 2020 mencapai Rp6.074,56 triliun. Dengan demikian, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 36,68 persen.

Bahkan, pemerintah kembali menargetkan utang baru pada 2021 sebesar Rp1.177,4 triliun. Sebagian besar utang ini didapat melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp1.207,3 triliun.

Peningkatan hutang dan defisit yang dialami Pemerintah Indonesia tersebut menjadi sorotan sejumlah kalangan pemerhati ekonomi.

Baca Juga: Resep Sandwich Buah Segar, Ini Menu Favoritnya Kaum Diet

Defisit APBN akan semakin lebar, sebagai akibat dari ekspansi fiskal untuk menyelamatkan perekonomian di saat pandemi.

Hal ini terlihat dengan adanya pelebaran defisit fiskal dari 2,2 persen pada tahun 2019, menjadi 6,3 persen pada tahun 2020. Dan diperkirakan masih akan defisit sebesar 5,7 persen di tahun 2021.

"Tetap perlu kehati-hatian dalam melaksanakan kebijakan defisit ini,” kata Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati dalam siaran persnya, Kamis 18 Februari 2021.

Baca Juga: Tujuh Diktum SKB Atribut Sekolah Tegas dan Tidak Multitafsir

Sebagian besar defisit APBN ysng dibiayai utang, semakin lebar defisit, semakin besar juga utang.

“Untuk memaksimalkan pertumbuhan, tentu utang harus digunakan. Tetapi yang sering terjadi adalah pemerintah justru gagal membelanjakan uang,” paparnya.

Hal ini tercermin dari besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) selama 5 tahun terakhir mencapai Rp10 hingga Rp30 triliun tiap tahunnya.

Baca Juga: Rp1 Miliar dari Al di Depan Mata, Mama Rendy Halangi Mateo ke Luar Negeri, Bocoran Ikatan Cinta Hari Ini

Pelebaran defisit ini disebabkan oleh tingginya anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN). Akan tetapi, data terakhir menunjukkan bahwa realisasi anggaran PEN hingga akhir tahun 2020 belum maksimal, hanya sebesar 83 persen.

“Hal ini tentu merugikan, karena utang yang sudah ditarik pemerintah, gagal dimanfaatkan untuk penyelamatan ekonomi nasional,” tandas Anis.

Terkait primary balance Indonesia yang dalam beberapa tahun ini selalu tercatat negatif. Ketika primary balance negatif artinya pemerintah sedang menjalankan kebijakan gali lubang tutup lubang.

Baca Juga: Trending di Twitter, Akun Instagram Nissa Sabyan Diserbu Netizen Gegara Disebut Pelakor

“Pemerintah menerbitkan utang baru untuk membayar utang yang lama. Hal ini tentu bukan pertanda baik untuk keberlangsungan fiskal Indonesia,” tegas Anis.

Di tengah pandemi, primary balance Indonesia semakin memburuk. Pada tahun 2020 diperkirakan mencapai minus 4,3 persen dan pada tahun 2021 mencapai minus 3,59 persen.

Pemerintah harus mewaspadai lampu kuning dari semakin besarnya negatif primary balance ini, agar fiskal Indonesia lebih sustain untuk tahun-tahun mendatang.

Baca Juga: Jadwal Acara SCTV Jumat 19 Februari, Saksikan Lanjutan Buku Harian Seorang Istri dan Samudra Cinta

Pada masa pra-pandemi, debt to GDP ratio Indonesia terus meningkat dari awalnya 24 persen pada tahun 2014 menjadi 30,2 persen di tahun 2019.

Meningkatnya debt to GDP ratio menunjukkan bahwa selama periode tersebut penambahan utang lebih tinggi dibandingkan penambahan PDB. Artinya, utang pemerintah selama ini belum cukup produktif untuk mendorong PDB nasional.

“Hal ini tentu perlu menjadi catatan penting. Meningkatnya debt to GDP ratio yang mencapai 37 persen di tahun 2020 dan diperkirakan menjadi 41 persen pada tahun 2021, merupakan sinyal kurang bagus. Ini berarti Pemerintah akan kesulitan mengendalikan laju utang di masa yang akan datang,” ungkap Anis.

Baca Juga: Jadwal Acara RCTI Hari ini 19 Februari, Ada Tamu Tak Diundang dan Ikatan Cinta

Atas sorotan publik ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat memberikan respon bahwa posisi utang pemerintah pusat mengalami peningkatan disebabkan oleh pelemahan ekonomi akibat Covid-19.

Serta peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional. Menkeu juga menjelaskan bahwa negara lain juga mengalami hal yang sama.***

Editor: M Haidar


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x