"Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam kebijakan larangan bertransaksi di media sosial adalah perlunya keadilan antara pemilik usaha konvensional dan pemilik usaha di ranah digital," kata Andre, Rabu 27 September 2023.
Ia mengingatkan bahwa di era teknologi informasi dan komunikasi yang semakin meresap ke dalam kehidupan sehari-hari, media sosial bukan hanya menjadi platform bagi masyaarakat untuk berinteraksi.
“Banyak pelaku UMKM mengandalkan platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan lainnya untuk mempromosikan produk dan layanan mereka, serta menjalankan transaksi secara online," ujar Andre.
Ini juga harus dipikirkan, tandas Andre seperti apa teknis terbaik dalam proses kelanjutan transaksi jual belinya antara pembeli dan penjual jika hanya promosi saja yang diperbolehkan.
Revisi Permendag Nomor: 50 Tahun 2020 akan merujuk pada izin social commerce yang bukan platform transaksi jual beli sehingga akan menciptakan sejumlah aturan turunan.
Baca Juga: Pemilu 2024: Bawaslu Ajak Generasi Muda Harus Berani Melaporkan Setiap Pelanggaran
Aturan pertama social commerce hanya boleh memfasilitasi promosi barang atau jasa. Kedua social commerce harus memiliki izin sebagai e-commerce.
Kemudian aturan ketiga membatasi produk impor dengan memisahkan negatif dan positif list. Lalu yang keempat perilaku barang impor dan dalam negeri harus sama.
Artinya jika produk makanan harus ada sertifikat halal, begitu juga dengan skincare yang memerlukan jaminan atau seizin BPOM, dan produk elektronik harus memiliki standar.