Pelarangan Social Commerce Berpotensi Tidak Efektif, Karena Melawan Arus Perkembangan Teknologi

- 28 September 2023, 04:13 WIB
Ilustrasi - Belanja Online
Ilustrasi - Belanja Online /Karawangpost/Pexels/Thirdman

KARAWANGPOST - Dalam aturan baru nanti, platform media sosial seperti TikTok, Facebook, Instagram, dan Twitter akan dilarang berjualan langsung.

Hal tersebut menyusul adanya keluhan dari para pedagang konvensial yang merasa dirugikan dengan hadirnya e-commerce di media sosial.

Mau tidak mau pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE).

Baca Juga: Pemilu 2024: Kapolri Minta Selesaikan Gangguan Keamanan Sebelum Pemilihan Berlangsung

Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade menyebutkan, pemerintah akan mengatur social commerce hanya diperbolehkan untuk memfasilitasi promosi barang atau jasa.

Kehadiran social commerce seperti TikTok Shop diharapkan tidak lagi melakukan penjualan online secara langsung namun hanya bisa memfasilitasi promosi barang atau jasa.

Menurut Andre Rosiade, revisi beleid harus menciptakan regulasi yang adil bagi pelaku usaha konvensional dan digital.

 Baca Juga: Kenaikan Harga Gas Elpiji 3 Kg di Karawang dinilai Makin Mempersulit Usaha Pedagang Kecil

Mengingat, 6 sampai 7 juta pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) memanfaatkan social commerce sebagai platform penjualan.

"Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam kebijakan larangan bertransaksi di media sosial adalah perlunya keadilan antara pemilik usaha konvensional dan pemilik usaha di ranah digital," kata Andre, Rabu 27 September 2023.

Ia mengingatkan bahwa di era teknologi informasi dan komunikasi yang semakin meresap ke dalam kehidupan sehari-hari, media sosial bukan hanya menjadi platform bagi masyaarakat untuk berinteraksi.

 Baca Juga: Pekan Depan Polres Karawang Periksa Saksi Kasus Persekusi Wartawan dan Dugaan Penyalahgunaan Penyaluran BPNT

“Banyak pelaku UMKM mengandalkan platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan lainnya untuk mempromosikan produk dan layanan mereka, serta menjalankan transaksi secara online," ujar Andre.

Ini juga harus dipikirkan, tandas Andre seperti apa teknis terbaik dalam proses kelanjutan transaksi jual belinya antara pembeli dan penjual jika hanya promosi saja yang diperbolehkan.

Revisi Permendag Nomor: 50 Tahun 2020 akan merujuk pada izin social commerce yang bukan platform transaksi jual beli sehingga akan menciptakan sejumlah aturan turunan.

 Baca Juga: Pemilu 2024: Bawaslu Ajak Generasi Muda Harus Berani Melaporkan Setiap Pelanggaran 

Aturan pertama social commerce hanya boleh memfasilitasi promosi barang atau jasa. Kedua social commerce harus memiliki izin sebagai e-commerce.

Kemudian aturan ketiga membatasi produk impor dengan memisahkan negatif dan positif list. Lalu yang keempat perilaku barang impor dan dalam negeri harus sama.

Artinya jika produk makanan harus ada sertifikat halal, begitu juga dengan skincare yang memerlukan jaminan atau seizin BPOM, dan produk elektronik harus memiliki standar.

 Baca Juga: Pemkab Karawang Sesuaikan HET Gas Elpiji 3 Kg

Serta aturan kelima ialah social commerce tidak boleh bertindak sebagai produsen. Lalu aturan terakhir adalah transaksi impor hanya boleh satu kali dengan minimal USD100 atau setara Rp1,5 juta.

Aturan yang disusun tersebut penting mengingat dalam aktivitas perdagangan di social commerce seperti TikTok Shop, barang impor bisa langsung dibeli oleh konsumen Indonesia alias crossborder.

Pelaku usaha digital juga diprotes karena menawarkan harga yang sangat murah di social commerce. Persaingan inilah yang dikhawatirkan mematikan UMKM dalam negeri.

 Baca Juga: Pemilu 2024: Kapolri Perintahkan Kabaharkam Polri Kawal Pelaksanaan Pemilu

Untuk itu, Andre pun berharap aturan turunan dari revisi Permendag No.50 Tahun 2020 nantinya dapat membatasi aktivitas penjualan di social commerce yang banyak dikeluhkan pedagang konvensional.

“Dengan larangan berjualan dan bertransaksi, pengusaha akan lebih fokus pada kegiatan promosi. Ini dapat membantu mereka meningkatkan visibilitas dan kesadaran merek mereka di media sosial,” jelas Andre.

 Baca Juga: Antisipasi Kejahatan Transnasional, Polri Bangun Kerjasama bersama Kepolisian Palestina

Meski begitu, Andre melihat masih ada beberapa aturan yang berpotensi tidak efektif karena melawan arus perkembangan teknologi.

Ia menyebut social commerce memberikan pengalaman berbelanja tersendiri bagi konsumen, dan bahkan memunculkan fenomena impulsive buying yang dapat menguntungkan pelaku usaha.

“Kelebihan dan kekurangan dari larangan berjualan dan bertransaksi di media sosial sangat bergantung pada jenis bisnis, pasar target, dan strategi pemasaran yang diterapkan oleh pengusaha. Maka aturan-aturan yang jelas harus segera dibuat,” ungkap Andre.***

Editor: M Haidar

Sumber: DPR


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x